Potensi Minyak Atsiri dari Hutan Malinau: Dari Gaharu hingga Tanaman Herbal, Komunitas Lokal Dorong Hilirisasi Produk Wewangian

Malinau, Sabtu (10/2/2024) – Kabupaten Malinau di Kalimantan Utara terus mengembangkan potensi minyak atsiri hasil hutan yang diolah dari beragam tanaman aromatik. Minyak atsiri dari kawasan hutan ini tidak hanya diproduksi dari kayu gaharu, namun kini juga memanfaatkan berbagai tanaman herbal lokal, seperti serai, merica hutan, dan kayu putih, yang memiliki aroma khas dan bernilai ekonomi tinggi. Produk minyak atsiri Malinau saat ini telah dikembangkan menjadi berbagai wewangian, seperti aroma terapi, pengharum ruangan, dan diffuser yang semakin banyak diminati pasar.

Ilham Yudha, Tenaga Ahli UPTD Pelayanan dan Pengembangan Minyak Atsiri Dinas Kehutanan Kalimantan Utara, menjelaskan bahwa minyak atsiri dari gaharu maupun tanaman lainnya saat ini dihargai sekitar Rp 150 ribu per gram, mencerminkan kualitas dan daya tariknya yang tinggi. “Tumbuhan yang memiliki aroma dapat diekstrak menjadi minyak atsiri, hasilnya memiliki aroma yang tahan lama sehingga cocok dijadikan diffuser atau pengharum ruangan,” ujarnya.

Pembuatan minyak atsiri ini berawal dari penggunaan kayu gaharu, terutama resin gaharu yang telah lama dikenal sebagai sumber wewangian alami. Namun, masyarakat kini telah berinovasi dengan memanfaatkan tanaman aromatik lainnya untuk memperluas variasi dan potensi produk. Bahan baku minyak atsiri diperoleh dari berbagai sumber di kawasan hutan, termasuk jenis kayu gaharu tanpa resin, atau yang biasa disebut totok gaharu. Ini menunjukkan bahwa proses hilirisasi minyak atsiri tidak terbatas pada gaharu, melainkan juga melibatkan pemanfaatan tanaman lokal lain yang dapat dikembangkan dengan sistem berkelanjutan.

Dukungan penuh dari Dinas Kehutanan Kalimantan Utara juga turut memperkuat pengelolaan industri minyak atsiri di Malinau. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Malinau mendapat fasilitas penyulingan khusus gaharu dari Dinas Kehutanan, memungkinkan masyarakat untuk melakukan proses ekstraksi dengan lebih efisien. Warga di Laban Nyarit dan Irang Lungu adalah sebagian dari komunitas lokal yang telah aktif mengembangkan usaha minyak atsiri. Dengan berbekal pengalaman, mereka kini mampu mengolah dan mengembangkan produk wewangian berkualitas yang siap memenuhi permintaan pasar.

Sainal, Fasilitator KKI Warsi yang juga berperan dalam pembinaan komunitas pembudidaya minyak atsiri di Malinau, menjelaskan bahwa penggunaan gaharu hanya salah satu dari berbagai opsi bahan baku yang dapat diolah menjadi minyak atsiri. “Tidak hanya bergantung pada kayu gaharu, kita juga dapat menghasilkan wewangian dari minyak serai, kayu putih, dan merica hutan,” ungkapnya. Produk-produk ini telah terbukti memiliki potensi yang menjanjikan, terutama untuk pasar yang mencari aroma alami dan produk berbahan dasar tumbuhan lokal.

Hilirisasi minyak atsiri di Malinau telah menjadi salah satu langkah strategis dalam meningkatkan ekonomi lokal sekaligus memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Melalui program ini, masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan dapat memberdayakan diri dengan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, sekaligus berkontribusi pada pelestarian hutan. Dengan produk unggulan seperti minyak atsiri, Malinau berpotensi menjadi salah satu penghasil wewangian alami terkemuka yang tidak hanya diminati di pasar lokal tetapi juga berpeluang besar untuk diekspor ke pasar internasional.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *