JAKARTA, PIJARMALINAU.COM – Antusiasme Publik menanti Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Gugatan ini, dengan nomor registrasi 114/PPU/XX/2022, terkait dengan Pasal 168 yang mengatur sistem pemilu. Enam orang pemohon, yaitu Demas Brian Wicaksono dari PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, telah mengajukan permintaan kepada MK untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Belakangan, ada berita yang beredar bahwa MK akan mengabulkan gugatan tersebut dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Informasi ini diungkapkan oleh Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), meskipun ia tidak memberikan sumber informasinya secara pasti.
Namun, MK membantah kabar tersebut. Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menyatakan bahwa proses persidangan mengenai gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menyangkut sistem pemilu belum selesai dan masih berlangsung. Penyerahan kesimpulan para pihak dijadwalkan pada tanggal 31 Mei 2023.
Setelah itu, proses persidangan akan melanjut ke tahap putusan oleh majelis hakim. Jadwal sidang putusan belum ditetapkan. Informasi mengenai jadwal tersebut akan diumumkan melalui laman resmi mkri.id
Meskipun MK membantah adanya bocornya putusan mengenai uji materi sistem pemilu, banyak pihak yang angkat bicara terkait berita tersebut. Beberapa pihak menolak perubahan dari sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Sekarang, mari kita bahas perbedaan antara sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu yang saat ini digunakan di Indonesia. Sistem ini diterapkan dalam pemilihan anggota legislatif di DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 168 Ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sistem ini, pemilih dapat langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh setiap partai politik peserta pemilu. Surat suara dalam sistem proporsional terbuka mencantumkan logo partai politik beserta nama-nama caleg. Pemilih dapat mencoblos nama caleg secara langsung atau mencoblos partai politik. Calon anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan jumlah suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka telah digunakan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Di sisi lain, Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilu di mana pemilih tidak memilih langsung calon anggota legislatif, tetapi hanya memilih partai politik peserta pemilu. Surat suara dalam sistem pemilu proporsional tertutup hanya mencantumkan logo partai politik tanpa rincian nama-nama caleg. Penentuan calon anggota legislatif dilakukan oleh partai politik dengan menyusun daftar calon berdasarkan nomor urut. Calon yang terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut tersebut. Misalnya, jika sebuah partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah yang berada pada nomor urut 1 dan 2. Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan dalam Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.
Dengan demikian, perbedaan antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup terletak pada cara pemilih memilih calon anggota legislatif. Pada sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih langsung calon anggota legislatif, sedangkan pada sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik dan penentuan calon anggota legislatif dilakukan oleh partai.